Menes Jejak Awal
Tema di atas dimaksud untuk mengenalkan NU sebagai jam’iyyah sekaligus harokah di Banten, ini sengaja saya mulai dari Menes karena ingin mengurai perjalanan sejarah NU dari masa ke masa. Sebab dari Menes inilah kita mengenalinya sebagai titik awal tumbuhnya NU di wilayah tersebut.
Sebelum lebih jauh menjelaskan latar sejarah tumbuhnya NU di Menes, ada baiknya mengenal Menes tahun 1928 Masehi sebagai daerah Kawedanan dari Kabupaten Pandeglang Karesidenan Banten, dan Menes menurut catatan sejarah ini dulunya adalah daerah singgahan orang-orang Mataram, mereka ini berdatangan di Menes setelah menyatakan tidak kembali ke Mataram, akibat gagalnya penaklukan atas VOC Belanda di Batavia tahun 1628 Masehi.
Berdasarkan Staatsblad 1874 No. 73 Ordonansi tanggal 1 Maret 1874, mulai berlaku 1 April 1874 menyebutkan pembagian distrik di Kabupaten Pandeglang. Menurut Staatsblad tersebut Menes adalah Kawedanan di bawah Kabupaten Pandeglang. Adapun Bupati Kabupaten Pandeglang pertama dijabat oleh Raden Tjondronegoro Djajanegara, meski hanya 1 tahun masa awal pemerintahannya dari 1848 hingga 1849 Masehi.
Dalam memoar Bambang Notosusanto dengan judul Dalam Dekapan Pandeglang: Kumpulan Catatan Kecilku Tentang Pandeglang ( hlm. 161–171 ) pada era antara 1827 hingga 1941, pemerintahan Kabupaten Pandeglang dipegang oleh Bupati Raden Djeomhawan Wiriatmaja, dan termasuk Bupati Pandeglang yang cukup lama, jabatan Bupati dan Patih sudah diatur berdasarkan keputusan Surat Menteri Jajahan tanggal 13 dan 20 November 1873 No. LAA. AZ. No. 34/209 dan 28/2165 tentang jabatan Bupati, Patih dan perangkat pemerintahan di Kabupaten Pandeglang.
Jejak Menes sebagai daerah Kawedanan itu dibuktikan dengan beberapa peninggalanya antara lain alun-alun Menes dan gedung tua bekas kantor Wedana Menes. Bangunan yang terletak di depan Alun-Alun Timur Menes, Kelurahan Purwaraja, Kecamatan menes Pandeglang ini sekarang berfungsi sebagai gedung serba guna. Peruntukkan awal bangunan ini adalah untuk persiapan gedung dinas Bupati Caringin. Bangunan ini merupakan salah satu bangunan tua yang masih tersisa dari beberapa bangunan kolonial yang diperkirakan dibangun sekitar tahun 1848.
Lahirnya Mathlaul Anwar
Sejak kepulangannya dari Mekkah tahun 1910 Masehi, setelah sekian lama belajar dari beberapa maha guru asli Nusantara ( terutama berguru kepada Syaikh Nawawi al-Bantani), Mas Abdurrahman putera dari Kiai Mas Djamal yang lahir pada 1868 Masehi di Janaka, kemudian didaulat oleh ulama dan para kasepuhan yang tinggal di wilayah Kawedanan Menes untuk diminta berkhidmat mengajarkan ilmu agama Islam, terutama kepada masyarakat yang masih awam.
Salah satu ulama Menes yang dianggap paling berperan atas kepulangan KH. Mas Abdurrahman ke tanah air itu adalah KH. Tb. Muhammad Sholeh, figur sepuh yang sudah sejak lama memperhatikan Mas Abdurrahman yang dianggap mampu mengembangkan ilmu dan dakwah IsIam di daerahnya Menes, karena kemasyhuran Mekkah sebagai pusat pengetahuan ilmu agama IsIam dan karena kealiman Mas Abdurrahman tentunya.
Menurut Zainul Milal dalam bukunya Islam Nusantara, Sanad dan Jejaring Ulama Santri ( 1830-1945 ), pada tahun 1916 KH. Mas Abdurrahman Janaka telah memulai kiprahnya yaitu mendirikan Mathlaul Anwar ( terbitnya cahaya) di Menes, bersama-sama dengan mertuanya yakni KH. Tb. Muhammad Soleh, KH. Tb. Rusydi, dengan KH. Tb. Arsyad Tegal ( ayahnya Tb. Rusydi), KH. Entol Muhammad Yasin ( mertua KH. Tb. Rusydi), KH. Sulaeman, Kiai Daud, KH. Abdul Mukti, Kiai Syaifudin, Entol Dawawi, Entol Djasudin dan yang paling muda adalah Entol Ismail.
Bergabung Dengan Nahdlatul Ulama
Sejak NU didirikan di Surabaya pada 31 Januari 1926, pendiri Mathlaul Anwar KH. Mas Abdurrahman Janaka dari Menes Banten yang juga adalah teman dekat Hadrotusyaikh Hasyim Asy’ari karena sesama murid Syaikh Nawawi al-Bantani, memulai kiprahnya di jam’iyyah Nahdlatul Ulama dengan bergabung di dalamnya.
Pada Muktamar perdana yang digelar dari tanggal 21 hingga 23 September 1926 (14-16 Rabiul Awal 1345 H) bertempat di Hotel Muslimin, di Jalan Peneleh Surabaya telah dihadiri 93 kiai-kiai sepuh, baik yang berasal dari Jawa bagian barat hingga Madura. Diantaranya yang hadir KH. Nawawi Sidogiri Pasuruan, KH. Doro Muntaha Bangkalan, KH. Ridwan Abdullah, KH. R Asnawi-Kudus, KH. Djubeir, KH Faqih Maskumambang Gresik, KH. Mohammad Ma’roef Kedung Kediri, dan KH. Mas Abdurahman dari Menes Banten.
Menurut Safrizal Rambe dalam bukunya berjudul Peletak Dasar Tradisi Berpolitik NU, Sang Penggerak Nahdlatul Ulama : KH Abdul Wahab Chasbullah Sebuah Biografi ( hlm. 199 ) dalam muktamar NU yang keempat di Semarang telah menetapkan KH. Mas Abdurahman, salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama di Banten yang juga pendiri Mathlaul Anwar masuk jajaran Mustasyar bersama Syaikh Abdul Alim Ashhidqi, KH. Zuhdi dan KH. Abbas Pekalongan. Pada muktamar keempat tersebut terjadi perubahan posisi yaitu KH. Wahab Chasbullah yang semula dalam posisi Katib Syuriah lalu menjadi Mustasyar, dua tahun sejak NU telah terbentuk menjadi Hoofd Bestuur ( Pengurus Besar).
Bukan hanya KH. Mas Abdurrahman Janaka saja ulama besar dari Banten yang hadir di beberapa muktamar NU, mulai dari muktamar NU di Surabaya tahun 1927 hingga muktamar NU yang keempat di Semarang, tetapi juga ada peran ulama besar dari Cibeber Cilegon yakni KH. Abdul Latif pengasuh pesantren Jauharotu al-Naqiyah, dan KH. Abdul Aziz Serang yang keduanya telah masuk dalam jajaran Hoofd Bestuur Nahdlatul Ulama tahun 1929.
Ikatan emosional sesama santri Sayid ulama Hijaz Syaikh Nawawi al-Bantani menjadi dasar mereka bersatu dalam wadah jam’iyyah Nahdlatul Ulama yang kebetulan telah direstui oleh Maha guru ulama Nusantara yakni Syaikh Kholil Bangkalan Madura.
Kebersamaan dalam wadah jam’iyyah NU itulah yang mendekatkan satu dengan lainnya meski terpisah dengan jarak yang rata-rata berjauhan. Ini karena kekuatan hidmat pada guru utama yaitu Syaikh Nawawi al-Bantani, yang sejak awal telah menginspirasinya untuk menyatu dalam satu wadah dengan istiqomah berpegang teguh pada madzhab Ahli Sunnah wal Jamaah.
Muktamar NU Menes 1938
Dalam Swara Nahdlatoel Oelama edisi bundel hal 172-173, ada Voorstel (pengajuan) kepada Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO) agar membahas masalah pendidikan, Voorstel tersebut diajukan oleh ulama Menes yang telah bergabung dan membentuk kepengurusan NU di Menes Pandeglang dan voorstel adalah gagasan cerdas dari KH. Mas Abdurrahman dan KH. Entol Muhammad Yasin. Adapun isi voorstel itu adalah.
“Diharap supaya mengadakan Departemen Onderwijs (Bagian Pengajaran) buat mengatur nidzomnya (organisatiennya) pengajaran madrasah-madrasah dan mengatur pangkat susunannya madrasah, yang rendah, yang pertengahan, dan yang tinggi, agar supaya madrasah-madarasah yang sudah di bawah genggamannya Nahdlatul Ulama bisa sama pengaturan dan pelajarannya dan anak-anak yang maju himmah tiada putus di tengah jalan, juga dengan diadakan fonds (persediaan uang) buat keperluannya yang mengatur tersebut di atas.”
Dengan latar belakang voorstel itulah akhirnya Hoofd Bestuur Nahdlatul Ulama di Surabaya telah memutuskan muktamar di tahun 1938 digelar di Kawedanan Menes Kabupaten Pandeglang, dan telah ditetapkan KH. Tb. Rusydi menjadi ketua pelaksanaanya.
Pada Muktamar NU di Menes tanggal 11-16 Juli tahun 1938 telah memutuskan menerima voorstel dari pengurus NU Banten dan menerima gagasan dibentuknya Muslimat NU, yang kemudian Nyai Djunaisih sebagai ketua pertama dari Muslimat NU.
Serang 5 Oktober 2024
Oleh: KH Hamdan Suhaemi