Agama itu diibaratkan jasad manusia, tubuh dan anggota luar maupun dalamnya adalah seperti syari’at, hatinya adalah aqidah sementara darahnya seperti tarekat, semuanya saling berkait dan menguatkan. Karena itulah agama menjadi penting, dan perlu kejelasan. Bukan menguatkan identitas, tetapi lebih bagaimana penerapan substansi agama yang selalu mengarahkan manusia agar selamat dunia akhiratnya.
Dalam perspektif madzhab ahli Sunnah wal Jama’ah, tarekat adalah bagian yang tak terpisahkan dari agama. Lemah jika beragama tanpa tarekat, bahkan cenderung hanya menunaikan kewajiban semata. Apalagi beragama tanpa dasar ilmu dan tidak bermazhab, yang ada tekstualis dan mengarah pada fundamentalis, akhirnya agama menjadi kaku dan terlihat dangkal. Sebab cara beragama model begitu selalu simbolik dan menjauhi maqoshid-nya.
Tarekat Tijaniyah
Menurut Imam al-Jurjani dalam kitabnya al-Ta’rifat, bahwa Tarekat itu jalan khusus bagi hamba yang tengah menuju Tuhannya, dengan memotong langkah turun, hingga bagaimana meninggi dalam maqom (tingkat) kemuliaan.
Tarekat di dunia banyak jumlahnya, ada 41 tarekat yang mu’tabar (yang banyak diikuti dan masyhur), diantara sekian banyak itu ada tarekat Tijaniyah. Tarekat yang dihubungkan pada pendirinya yaitu Syaikh Sayyid Ahmad at-Tijani, seorang wali besar dengan maqom kutub robbani bahkan mencapai keistimewaan pangkat “khotmu al-auliyai al-kitmani”.
Tarekat Tijaniyah, mulai berkembang dari kota Fez Maroko, sepeninggal pendirinya di tahun 1815 M. Tarekat ini menjadi urutan mutaakhirin dari beberapa tarekat yang masyhur dalam dunia Islam, berkembang di awal abad 19 Masehi.
Siapa Sayyid Ahmad at-Tijani?
Sayyid Ahmad at-Tijani dilahirkan di desa Aini Madhi, wilayah Fez negeri Maroko pada 1150 Hijriyah, atau bertepatan dengan tahun 1735 M. Ayahnya adalah Sayyid Muhammad putera dari Sayyid Salim bin Sayyid Iid bin Sayyid Salim bin Sayyid Ahmad al-Ulwani bin Sayyid Ahmad bin Sayyid Ali bin Sayyid Abdillah bin Sayyid Abbas bin Sayyid Abdul Jabar bin Sayyid Idris bin Sayyid Ishaq bin Sayyid Zaenal Abidin bin Sayyid Ahmad bin Sayyid Muhammad Nafis bin Sayyid Abdillah al-Kamil bin Sayyid Hasan al-Musanna bin Sayyid Hasan al-Sibti bin Sayyidah Fatimah binti Rosulillah Muhammad SAW.
Saat usia 7 tahun Sayyid ini sudah hafal al-Quran 30 juz dengan baik dan sempurna dibawa bimbingan murobbinya yaitu Syaikh Muhammad bin Hamawi. Hingga Sayyid kecil menuntut ilmu pada guru yang sama, dan masih muda belia ia sudah mampu menyerap semua ilmu agama dengan baik.
Ketertarikan Sayyid Ahmad muda itu pada disiplin ilmu tasawuf, maka ia belajar sampai tuntas kitab al-mukhtasor karya Syaikh Kholil, kitab ar-risalah dan kitab muqodimah karya Ibnu Rusyd serta muqddimahny Syaikh Ibnu Bu’afiyah.
Meski harus terpukul dalam usia belia ia harus ditinggal oleh kedua orang tuanya, akibat serangan tho’un menerjang kota Fez. Pada usia 21 tahun dari kampungnya Aini Madhi menuju kota Fez, Sayyid Ahmad at-Tijani belajar pada ulama besar yaitu Sayyid Abu Muhammad ath-Thayyib, belajar pada ulama besar sekaligus wali qutubnya kota Fez kala itu yaitu Syaikh Ahmad ash-Shaqali dan pula belajar pada sosok wali yang istimewa yaitu Syaikh Muhammad al-Wanjali.
Guru Tarekat
Sebelum Sayyid Ahmad at-Tijani pergi ke Mekkah dan Madinah, beliau bertemu dan belajar pada 2 orang ulama besar yaitu Syaikh Abdullah Ibnu ‘Arobi al-Andalusi dan Sayyid Syaikh Abdul Abbas ath-Thowwasyi.
Sesampainya di desa Azwami, masih wilayah Madinah, Sayyid Ahmad at-Tijani menemui seorang Mursyid Tarekat Kholwatiyah yaitu Sayyid Abi Abdillah al-Azhari untuk berijazah dan belajar padanya. Saat di Mekkah, Sayyid Ahmad at-Tijani menyempatkan belajar ilmu Asror dan mendalami karomah pada Syaikh Abi Abbas Muhammad al-Hindi. Ketika singgah di Madinah dalam rangkaian perjalanan ibadah haji, Sayyid at-Tijani ini belajar pada pendiri tarekat Samaniyah yaitu Syaikh Muhammad bin Abdul Karim as-Samman.
Maqom Wali Kutub
Perjalanan panjang mendalami ilmu dan tarekat dari Fez, Mekkah dan Madinah hingga di Tunisia akhirnya mengantarkan Sayyid Ahmad at-Tijani menjadi Wali Kutub dengan Maqom khotmu al-auliyai al-kitmani, bahkan Sayyid Ahmad at-Tijani mendirikan tarekat yang bertumpu pada tanazzul (melayani umat) dengan memberikan faidah dan kemanfaatan, berdasarkan anjuran Rosulullah SAW saat bertemu bermuwajahah di negeri Tilmisan. Di negeri itulah Sayyid Ahmad at-Tijani ditalqin langsung oleh Rasulullah SAW dalam keadaan yaqdhotan (tidak lewat mimpi).
Sejak ditalqin langsung oleh Rasulullah tersebut, Sayyid Ahmad at-Tijani menyebarkan dzikir dan shalawat hingga pengikut dan murid-muridnya menisbatkan tarekat yang didirikan oleh Sayyid Ahmad at-Tijani dengan Tarekat Tijaniyah.
Wafat
Kemasyhuran Sayyid Ahmad at-Tijani dengan Tarekat Tijaniyah hingga ke penjuru negeri, tak terkecuali di negerinya sendiri Fez Maroko.
Pada usianya yang kian senja yaitu 80 tahun dari bentangan perjalanan panjang kehidupannya yang istiqamah di jalan tarekat, maka pada Kamis tanggal 17 Syawal 1230 H, yang bertepatan dengan tahun 1815 M, Sayyid Ahmad at-Tijani menghembuskan nafas terakhirnya setelah shalat Subuh. Kemudian jenazahnya dimakamkan di kota Fez Maroko.
Penghormatan terakhir atas keistimewaan sang Qutub itu, di hari dimana ia disholatkan orang-orang dari segala penjuru berdatangan untuk ikut mensholatinya, hingga tampak lautan manusia.
Oleh: Hamdan Suhaemi. (Wakil Ketua PW GP Ansor dan Pengurus Idaroh Wustho Jatman Banten)