PEMALANG – Dalam sikap tegas yang memicu perhatian publik, Pimpinan Daerah Perjuangan Walisongo Indonesia Laskar Sabilillah (DPD PWI-LS) Kabupaten Pemalang mengembalikan dana bantuan sebesar Rp 21.647.000 yang sebelumnya diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Pemalang pada Senin, 4 Agustus 2025.
Dana tersebut awalnya diberikan sebagai bentuk bantuan pascabentrokan berdarah antara PWI-LS dan organisasi massa FPI yang pecah di Desa Pegundan, Kecamatan Petarukan.
Namun alih-alih disambut sebagai kepedulian pemerintah, PWI-LS justru melihat bantuan itu sebagai bagian dari strategi pencitraan politik di tengah menurunnya kepercayaan publik pasca insiden.
Melalui perwakilan Divisi Seni dan Budaya, Andi Rustono, uang bantuan dikembalikan secara simbolis kepada Kasatpol PP Pemalang, Ahmad Hidayat. Penyerahan itu ditolak dengan alasan prosedural klasik, karena “tidak ada petunjuk dari Bupati,” yang saat itu sedang berada di Jakarta.
Menanggapi penolakan itu, Andi meletakkan amplop berisi dana bantuan di Sekretariat Kabupaten Pemalang, menegaskan bahwa PWI-LS tidak ingin menerima uang yang menurut mereka sarat kepentingan.
“Kami bukan anti-bantuan. Tapi kami tahu kapan kami butuh. Dan kali ini kami tidak butuh pencitraan. Kami bisa urus sendiri pengobatan korban,” tegas Andi saat pengembalian uang pada Senin pagi (4/8).
Pernyataan tersebut mencerminkan sikap mandiri dan tegas dari PWI-LS, yang menolak dimanfaatkan untuk agenda politik oleh pemerintah daerah.
Tak hanya itu, Andi mengkritik langkah Pemda yang menggelar konferensi pers lebih dulu, sebelum menyalurkan bantuan secara nyata kepada korban insiden.
“Kenapa harus konferensi pers dulu? Seolah-olah korban hanya figuran untuk sandiwara pencitraan. Padahal korban butuh pertolongan nyata, bukan kamera dan panggung,” tambahnya.
Lebih lanjut, Andi menyampaikan kritik terhadap Bupati Pemalang yang baru-baru ini tampil dalam sebuah acara Tabligh Akbar bersama Habib Rizieq Shihab, tokoh yang kerap menuai kontroversi nasional. Menurut PWI-LS, tindakan tersebut mencederai netralitas dan justru memperuncing ketegangan sosial.
“Bupati tampil seolah-olah sebagai muhibbin. Maaf, menurut saya itu tindakan bodoh, tidak netral, dan justru memperkeruh situasi sosial,” ucap Andi dengan nada lantang.
PWI-LS mengingatkan bahwa kepala daerah harus hadir sebagai pemersatu di tengah masyarakat, bukan sebagai bagian dari konflik yang memperdalam jurang perpecahan.
“Pemimpin itu harusnya jadi penengah, bukan malah ikut main dalam panggung konflik. Jangan jadikan korban sebagai properti kampanye,” tutup Andi.
Langkah berani PD PWI-LS ini menjadi sinyal kuat bagi pejabat publik agar tidak menjadikan penderitaan rakyat sebagai bahan pertunjukan. Solidaritas sejati lahir dari ketulusan dan keberanian berpihak pada keadilan, bukan dari lampu kamera dan mikrofon. (red./kd)