Hampir sekiar dua dasa warsa, Habaib Ba’alawi menjadi tokoh agama Islam paling populer, paling dihormati dan paling berpengaruh di kalangan muslim tradisionalis di Indonesia, jauh meninggalkan tokoh-tokoh tradisional dari kalangan pribumi. Hanya saja, sejak dua tahun terakhir kondisi tersebut berubah drastis, yang mana banyak dan semakin banyak masyarakat kehilangan respek dan kepercayaan terhadap para Habaib.
Selain tidak percaya Habaib adalah keturunan nabi, masyarakat mendapati fakta-fakta mencengangkan tentang jati diri, ajaran dan sepak terjang Habaib, yang mengubah pandangan tentang eksistensi mereka. Meski sebagian majelis keagamaan Habaib masih ramai oleh kaum pribumi, tetapi semakin banyak masyarakat tidak lagi respek dan mengelu-elukan mereka seperti sebelumnya. Bahkan semakin banyak masyarakat yang tak segan mencemooh dengan penilaian minor, yang pada masa sebelumnya nyaris tidak pernah ada yang berani melakukannya.
Fenomena runtuhnya marwah Habaib Ba’alawi yang sedemikian dramatis menarik ditelusuri berdasarkan rekam jejak mereka dalam rentang sejarah Indonesia modern. Dari sana dapat dipahami penyebab komunitas yang sebelumnya begitu dihormati kehilangan kepercayaan masyarakat dengan begitu cepat dan massive.
Polemik nasab Habaib Ba’alawi saat ini seakan mengulang polemik serupa di akhir era kolonial. Besarnya sentimen muslim pribumi terhadap Belanda sejak perang Diponegoro membuat rejim kolonial makin giat mendatangkan tenaga kerja dari luar negeri untuk membantu mengelola negeri jajahan. Antipati warga pribumi membuat etnis pendatang, Cina, India, Arab, termasuk Habaib yang saat itu dikenal sebagai kaum Arab Hadrami menjadi tumpuan pemerintah kolonial dalam mengelola wilayah jajahan. Seperti etnis pendatang lain, kaum Habaib diberi hak istimewa sebagai warga negara kelas dua di bawah etnis Eropa. Tokoh-tokoh Habaib mendapatkan jabatan penting seperti Kapiten, Mufti, hingga penguasa wilayah bergelar sultan, sementara kaum pribumi tertindas di kasta sosial terendah, warga negara kelas tiga.
Memasuki era pergerakan nasional yang ditandai berdirinya berbagai organisasi, terjadi polemik di kalangan Islam, bermula dari polemik di kalangan etnis Arab yang terdiri dari Arab Hadrami dan non-Hadrami. Mirip dengan yang terjadi saat ini, kaum (Habaib) Hadrami yang mengklaim sebagai keturunan nabi menuntut diperlakukan istimewa, dimuliakan, tetapi ditentang kalangan Islam dan Arab non-Hadrami sehingga menimbulkan kegaduhan. Penolakan kaum non-Hadrami menyebabkan organisasi etnis Arab terpecah menjadi dua, yaitu Jama’ah Khair bagi kaum (Habaib) Hadrami dan al-Irsyad bagi Arab non-Hadrami.
Kaum Habaib sempat menuntut pemerintah kolonial memberi pengakuan resmi sebagai warga bernasab mulia (sadah asyraf), tetapi ditolak. Selain menyatakan tidak berwenang memberikan legalitas, tampaknya penolakan pemerintah kolonial tidak lepas dari penolakan komunitas muslim yang meyakini tidak ada kasta dalam agama Islam. Dalam pernyataan tertulis, 25 tokoh Nahdlatul Ulama (NU) juga menegaskan bahwa keturunan nabi bergelar Sayyid=Sayyidah, Syarif-Syarifah, tidak termasuk yang bergelar Habib.
Di tengah menguatnya nasionalisme pasca kemerdekaan, pemerintah dan masyarakat Indonesia berkembang sikap antipati terhadap bangsa asing, hingga etnis kolonial disapu bersih dari negeri ini. Pemerintah bahkan sempat berniat mengusir Habaib Hadrami, yang terlalu berpihak pada Belanda, tetapi urung dilakukan. Atas pertimbangan agama, tokoh-tokoh pesantren Buntet Cirebon yang dimintai pertimbangan memilih membiarkan kaum Hadrami hidup di Indonesia.
Berbeda dari kalangan modernis, para tokoh tradisionalis, terutama tokoh-tokoh NU tetap menghormati mereka, meski tidak jelas kebenaran status Habaib sebagai keturunan nabi. Apalagi sebagian Habaib dikenal sebagai tokoh yang dihormati kalangan tradisionalis meski tidak menonjol kepakarannya dalam ilmu agama.
Sikap hormat ini kemudian biasa dimanfaatkan oleh Habaib atau Syarifah untuk melakukan dawir, sebuah eksploitasi spiritual, yang boleh dibilang pemalakan halus dengan memanfaatkan rasa hormat korbannya. Habaib biasa mendatangi kediaman kyai atau orang berada untuk menjual obat-obatan, minyak wangi, alat-alat ibadah, batu akik, alat ibadah dan sejenisnya dengan harga fantastis. Tidak jarang dawir dilakukan dengan meminta materi secara cuma-cuma dalam rangka peringatan hari besar atau sumbangan, yang mana tokoh-tokoh lokal umumnya kuatir kualat bila menolaknya.
Sementara itu, masyarakat awam pada umumnya kurang mengenal Habaib sebagai ahli agama. Masyarakat umum lebih mengenal Habib sebagai tukang minyak atau tukang obat, karena biasa berdagang minyak, obat, tasbih dan berbagai perangkat ritual keagamaan.
Di lingkungan masyarakat muslim tradisionalis, situasi tersebut berlanjut sampai jauh setelah era kemerdekaan. Kesamaan sebagai muslim membuat relasi kaum Habaib Ba’alawi dan masyarakat nyaris tidak diwarnai masalah berarti. Apalagi keluarga Habaib Ba’alawi yang menyebar ke berbagai daerah memiliki beragam profesi, mulai dari akademisi, pengusaha, artis, pesohor, hingga pejabat tinggi.
Popularitas Habaib Ba’alawi
Reformasi 1998 membuka jalan bagi Habaib mendapatkan panggung besar di tengah umat Islam. Riziq Shihab, sebagai tokoh Fron Pembela Islam (FPI), sukses membranding Habaib hingga semakin banyak masyarakat percaya mereka keturunan nabi. Banyak Habaib populer di bidang masing-masing, seperti Habib Lutfi Pekalongan yang dikenal sebagai tokoh spiritual dan Habib Syech yang menjadi icon panggung sholawatan. Di berbagai daerah bermunculan banyak Habib yang menjadi tokoh di berbagai kelompok pengajian atau grup sholawatan.
Situasi ini membuat harapan para Habaib, yang diperjuangkan sejak era kolonial untuk diakui dan diperlakukan istimewa sebagai keturunan nabi, nyaris menjadi kenyataan. Bukan hanya jumlah pengikut yang semakin besar, para Habaib berhasil membangun kelompok masyarakat pecinta (muhibbin) Habaib berserta laskar loyalis yang militan.
Meroketnya popularitas membuat para Habaib memiliki bergaining luas dengan tokoh-tokoh keagamaan pribumi, kyai dan tuan guru, maupun berbagai kekuatan sosial politik. Banyak politisi, pejabat hingga petinggi negara mendompleng popularitas Habaib dalam menggalang dukungan politik.
Di pihak lain, para tokoh agama lokal, khususnya kyai dan tuan guru, semakin inferior di hadapan para Habaib. Mereka tergeser menjadi tokoh agama kelas dua di belakang Habaib, bahkan tidak sedikit yang suka rela menjadi pengikut dan pengawal setia Habaib hingga saat ini.
Tingginya penghargaan masyarakat membuat para Habaib leluasa menyuarakan apa saja, bahkan bebas memutar-balikkan fakta tanpa kritik berarti. Belakangan, para Habaib bahkan berani membangun narasi bahwa berdirinya republik ini terjadi atas jasa mereka. Mereka juga mengklaim Walisongo, penyebar Islam di nusantara, berasal dari klan mereka, Ba’alawi.
Klaim ini mendorong sebagian kyai pribumi yang merasa sebagai keturunan Walisongo menuntut diakui sebagai keturunan (sadah) nabi dari Rabithah Alawiyah (RA), tetapi ditolak mentah-mentah. Kalangan Habaib menyatakan bahwa keturunan Walisongo sudah tidak ada, nasabnya terputus. Riziq Shihab bahkan mencibir para kyai tersebut dengan menyatakan bahwa tidak sembarang orang berhak mengaku sebagai keturunan nabi dan menuntut tes DNA bagi siapapun yang mengklaim sebagai keturunan nabi, meski belakangan tes DNA diharamkan Hanif Alatas, menantunya sendiri.
Puncak Arogansi
Kokohnya posisi sosial keagamaan dan politik membuat sebagian Habaib seakan bisa berbuat sekehendak hati. Keruhnya situasi politik akibat kuatnya politik identitas yang diusung pendukung Prabowo yang dilanjutkan Anies Baswedan membuat Riziq bebas bernarasi apapun, meski banyak di antaranya keluar jauh dari nilai-nilai moral dan ajaran agama.
Kuatnya militansi kelompok pembela Habaib sukses menciptakan ketakutan bagi masyarakat yang tidak sepaham dengan prilaku Habaib. Para pembela Habaib tidak segan bertindak melangkahi norma hukum maupun moral. Banyak orang menjadi korban persekusi dan kekerasan tanpa mampu melawan, karena para pendukung Habaib tak segan melakukan persekusi, pengancaman dan kekerasan bahkan saat tampil live di televisi nasional, tanpa konsekwensi apapun.
Situasi ini membuat Riziq Shihab leluasa bicara apa saja. Di mimbar dan panggung-panggung politik keagamaan, Riziq begitu bebas mengumbar provokasi, menebar fitnah, ujaran kebencian hingga melaknat orang-orang yang tidak sepaham. Riziq dengan seenak hati menuduh pihak yang berbeda haluan politik sebagai PKI, antek china, antek asing, anti-Islam. Kata-kata jorok, tuduhan sesat hingga kafir begitu fasih terlontar dari mulutnya dan tetap diamini oleh para pengikutnya.
Arogansi Riziq baru terbungkam setelah menuntut beberapa Kapolda mengundurkan diri. Selain harus berhadapan dengan tuntutan hukum atas berbagai narasi dan pelanggaran hukum yang dia lakukan, pada saat yang sama aib pribadi Riziq Shihab terbongkar di depan publik.
Tersebarnya chat mesum disertai foto-foto tak senonoh janda cantik, Firza Husein, benar-benar menampar muka Riziq, yang pada saat yang sama tengah diglorifikasi sebagai Imam Besar. Marwah Riziq seketika runtuh dan menjadi bahan bully dan tertawaan di media sosial. Meski Riziq berusaha menyangkal, bahkan dengan ber-mubahalah, tetapi berbagai fakta yang dikuak netizen di dunia maya membuat penyangkalannya sulit percaya.
Jeratan hukum yang dihadapi Riziq sebenarnya tidak seberapa berat konsekwensi hukumnya, apalagi ini bukan pertama kalinya dia berurusan dengan hukum. Masalahnya, terbongkarnya chat asusila tersebut membuat kasus hukumnya semakin rumit, karena sudah pasti kasus asusila tersebut akan turut dikupas tuntas sebagai bagian dari proses hukum yang dia hadapi.
Riziq benar-benar tidak mempunyai pilihan selain menghindari proses hukum dan kabur ke tanah suci. Kepergiannya membuat negeri ini beberapa saat relatif sepi dari narasi-narasi negatif. Apalagi di Saudi Arabia Riziq sempat berhadapan dengan ancaman hukum karena urusan bendera terlarang dan ijin tinggal sebelum kemudian diselamatkan oleh rejim yang selama ini dia tentang.
Bahar Bin Sumaith Sebagai Titik Balik
Setelah tersingkirnya Riziq dari arena sosial politik, tanpa diduga muncul Bahar bin Sumaith yang tidak kalah kontroversial. Berbeda dari Riziq yang muncul sebagai tokoh gerakan anti maksiat, Bahar justeru populer akibat kasus kekerasan terhadap anak, bahkan aksi tersebut dipamerkan hingga viral di media sosial. Bahar menghadapi kasus hukum yang mengantarkannya ke penjara sambil menebar narasi yang seolah menempatkan dirinya sebagai korban pemerintah.
Berbeda dari Bahar, Riziq masih menyamarkan gerakan agar masyarakat membela dirinya dengan istilah bela ulama dan tidak secara eksplisit memproklamirkan diri sebagai keturunan nabi. Sebaliknya, Bahar justeru secara congkak meneriakkan “Di dalam tubuh kami mengalir darah Rasulullah”. Sikap pongah juga dipamerkan di pengadilan dan menuntut diperlakukan istimewa sebagai keturunan nabi.
Sekalipun Bahar tidak mampu menghindari jerat hukum, tetapi kasus itu justeru membuatnya semakin populer di kalangan kelompok politik anti-pemerintah. Dengan nada kasar, ceramah-ceramah Bahar mempertontonkan kepongahan, caci maki dan hinaan terhadap orang-orang yang tidak sepaham. Bahar bahkan tidak segan menghujat, menghina dan merendahkan kyai-kyai yang dihormati oleh kalangan muslim tradisionalis.
Meski banyak masyarakat yang mulai muak dengan narasi dalam ceramahnya yang kasar dan asal bunyi, nyaris tidak ada pihak yang mengkoreksi. Sebenarnya ada satu Habib sepuh yang menasehatinya secara terbuka dan mengingatkan konsekwensinya, tapi di luar itu banyak Habaib, termasuk ketua RA yang menarasikan sikap anti pemerintah dan menyerang pihak-pihak yang dinilai mendukung pemerintah. Masih adanya anggapan bahwa Habaib sebagai keturunan nabi membuat tidak banyak masyarakat yang berani memberikan respon terbuka dan kalaupun ada, suara mereka relatif tidak bergema.
Kyai Imaduddin Sebagai Pembuka Jalan
Tidak berselang lama dari narasi-narasi yang kelewat tidak beradab Bahar bin Sumaith, secara mengejutkan kyai Imaduddin Usman mempublikasikan hasil kajiannya yang menyatakan bahwa Habaib Ba’alawi terbukti bukan keturunan nabi. Rangkaian (sanad) nasab Habaib hanyalah hasil rekayasa Ali Asy-Syakran yang ditulis pada abad 9 atau 10 hijriyah dan tidak ditunjang bukti dari kitab dan manuskrip yang terverifikasi.
Pada mulanya tesis tersebut dipandang remeh oleh para Habaib dan pimpinan NU. Rupanya, tesis yang awalnya terlihat baru sebuah konsep proto type tersebut mendapat dukungan luas, khususnya kalangan grassroot Nahdlatul Ulama (NU). Tesis Imaduddin semakin mapan dan kokoh setelah mendapat dukungan data yang komprehensif dari berbagai sumber serta hasil kajian berbagai pihak.
Klaim Habaib Ba’alawi sebagai keturunan nabi sama sekali tidak dapat dipercaya setelah beberapa pihak melakukan kajian dengan beragam perspektif. Tinjauan sejarah dan filologi oleh Menachem Ali, ditambah data-data hasil tes DNA serta berbagai informasi tentang eksistensi Ba’alawi semakin memastikan bahwa Habaib Ba’alawi benar-benar bukan keturunan nabi.
Para Habaib benar-benar terbungkam ketika dihadapkan pada data ilmiah. Sampai saat ini tidak ada yang mampu membantah hasil kajian ilmiah Imaduddin dan para peneliti lain dengan data-data ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Hanif Alatas dan Rumail Abbas hanya mampu membangun framing tentang keabsahan nasab Habaib tanpa bukti yang terverifikasi dan berupaya membangun narasi yang mendelegitimasi pihak-pihak yang menyuarakan kepalsuan nasab Habaib.
Kajian Imaduddin menjadi tamparan keras bukan saja bagi para Habaib yang selama ini menyombongkan nasab, melainkan berdampak luas pada eksistensi seluruh klan Ba’alawi. Di pihak lain, kajian Imadudin menjadi dasar keyakinan, menyuntikkan kepercayaan diri dan keberanian masyarakat untuk secara tegas menyatakan bahwa Habaib bukan keturunan nabi.
Begitu komprehensifnya bukti-bukti ilmiah membuat masyarakat sulit percaya Habaib keturunan nabi. Pilar terakhir klaim kebenaran nasab Habaib hanyalah dukungan elit sosial keagamaan dan politik, seperti pimpinan NU, tokoh pesantren, dan militansi para pengikut yang bersedia mengakui keabsahan nasab Habaib meski tanpa bukti yang terverifikasi.
Terbongkarnya Jati Diri
Kajian Imaduddin membuka fakta-fakta baru yang mencengangkan tentang Habaib. Persepsi masyarakat berubah total setelah kebanjiran informasi, berupa cataan sejarah, rekaman video ceramah dan berbagai temuan di lapangan, yang mengungkap jati diri Habaib di masa lalu maupun masa kini.
Catatan sejarah tentang Usman bin Yahya dan Hamid al-Gadri memunculkan persepsi bahwa para Habaib tak lebih dari kaki tangan kolonial dalam menindas bangsa ini. Narasi anti PKI yang sering digaungkan Riziq jadi terdengar sebagai teriakan maling teriak maling karena sejarah mencatat sebagian tokoh PKI berasal dari kalangan Habaib. Apalagi rejim komunis Yaman Selatan, kampung halaman Habaib, juga dipimpin tokoh Ba’alawi. Masyarakat semakin kehilangan respek dan berpandangan negatif, karena sebagian aksi terorisme juga melibatkan kalangan Habaib sebagai pelakunya.
Persepsi masyarakat terhadap Habaib semakin minor dan penuh kecurigaan karena ditemukannya kasus pemalsuan makam dan makam-makam palsu di berbagai tempat dengan menyematkan nama Habaib. Para Habaib diketahui juga berusaha memalsukan sejarah Indonesia dan NU berdasarkan berbagai video di media sosial, bahkan dalam bentuk buku, sehingga tidak aneh bila muncul kecurigaan bahwa para Habaib mempunyai rencana jahat bagi masyarakat bangsa ini.
Tereksposenya berbagai video ceramah yang sarat tahayul, khurofat, glorifikasi terhadap leluhur dan tanah asal mereka (Tarim) melalui dongeng-dongeng tidak masuk akal melahirkan keyakinan atas adanya agenda terselubung Habaib untuk membelokkan arah dan tradisi keagamaan Islam. Apalagi para Habaib ternyata memiliki ajaran (thariqah) keagamaan berbeda dari tradisi keagamaan Islam nusantara dan memperlihatkan ada usaha mengubah ajaran dan tradisi keagamaan Islam di Indonesia ke arah ajaran atau paham (thariqah) keagamaan khas Ba’alawi dengan menempatkan para Habaib sebagai panutan.
Di luar mimbar-mimbar keagamaan, masyarakat juga menemukan sikap dan perilaku kaum Ba’alawi yang “bermain politik” yang cenderung provokatif yang bahkan dilakukan di media massa nasional. Beberapa publik figur semacam Najwa Shihab dan Faisal Assegaf diketahui menebar narasi-narasi provokatif hingga memunculkan persepsi negatif terhadap kaum Ba’alawi secara keseluruhan. Tidak sedikit masyarakat meyakini bahwa mereka memiliki agenda jahat yang perlu diwaspadai bagi kelangsungan tradisi Islam Indonesia dan masa depan NKRI. Meski penampilan Habaib berbeda-beda, masyarakat berkesimpulan bahwa mereka pada dasarnya satu komplotan dengan peran masing-masing dalam memuluskan agendanya di negeri ini.
Tentu saja banyak masyarakat yang masih percaya pada Habaib, tetapi semakin banyak yang kini kehilangan rasa hormat, menjauh, memandang miring, bahkan membangun perlawanan terhadap komunitas yang dulu dipandang penuh hormat. Berdiri komunitas Perjuangan Walisongo Indonesia (PWI) dengan Laskar Sabilillah di berbagai daerah merongrong pengaruh dan wibawa Habaib. Mengulik nasab dan membongkar citra buruk Habaib Ba’alawi bahkan dipandang sebagai perjuangan menjaga kemuliaan nabi dan meluruskan ajaran Islam.
Penutup
Runtuhnya marwah Habaib yang begitu dramatis merupakan konsekwensi yang harus dibayar akibat keterlibatan mereka dalam aksi dukung-mendukung politik praktis hingga lupa diri dan melampaui batasan etika. Doktrin (thariqah) Habaib yang konon mengajarkan bahwa Habaib pasti ahli surga dan pemberi syafaat meski pelaku dosa, sepertinya membenarkan mereka melampaui batasan moral bahkan ajaran agama. Padahal rendahnya moral itulah yang membuat manusia kehilangan marwahnya.
Kepongahan yang membabi buta telah memancing perlawanan tak terduga dan mematikan. Tanpa perlu kekerasan, marwah Habaib runtuh setelah berbagai kajian ilmiah menguliti habis-habisan jati diri mereka, hingga semua kepalsuan dan kebusukan yang terkuak membuat masyarakat sampai pada kesimpulan, bahwa Habaib bukan dzuriyah nabi, bukan orang suci, bukan pula pahlawan dan tidak harus dimuliakan. Rasa percaya dan rasa hormat terhadap mereka telah runtuh dan hampir mustahil dipulihkan.
Oleh: Dr. Irfan Tamwifi
(Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Ampel Surabaya)
Sumber: Kompasiana