Oleh: Didin Syahbudin
Jika klaim nasab Habib Ba’Alwi ternyata tidak tersambung kepada Rasulullah SAW, maka ini merupakan bentuk oligarki genealogis, di mana kekuasaan sosial dan keistimewaan diwariskan berdasarkan klaim keturunan yang tidak dapat diverifikasi. Dalam Islam, nasab memang memiliki nilai historis, tetapi tidak boleh dijadikan alat legitimasi untuk mendapatkan status istimewa tanpa bukti yang sahih.
Pemujaan terhadap nasab yang tidak terbukti merupakan bentuk ketidakadilan yang merusak tatanan sosial. Dalam sistem ini, individu atau kelompok tertentu mendapatkan penghormatan, pengaruh, dan hak istimewa hanya karena mereka mengklaim garis keturunan dari figur penting di masa lalu. Jika klaim ini digunakan untuk kepentingan pribadi, baik dalam ranah sosial, politik, maupun ekonomi, maka ini adalah bentuk oligarki yang bertentangan dengan prinsip keadilan Islam.
Kajian ilmiah yang dilakukan oleh KH Imaduddin Utsman al-Bantani, Prof. Dr. Menachem Ali (filologi), Dr. Sugeng Sugiarto (genetika DNA), dan beberapa akademisi lainnya menunjukkan bahwa tidak ada bukti kuat yang menghubungkan Ba’Alwi dengan Rasulullah SAW. Penelitian ini mengungkap ketidaksinambungan historis dalam silsilah yang diklaim serta ketiadaan dokumentasi valid yang mendukung klaim tersebut. Jika hasil penelitian ini diabaikan demi mempertahankan mitos sosial, maka umat Islam akan terus terjebak dalam oligarki berbasis nasab yang menghambat prinsip meritokrasi dan keadilan.
Pengultusan nasab semacam ini bertentangan dengan ajaran Islam yang menekankan bahwa kemuliaan seseorang tidak terletak pada garis keturunan, tetapi pada ketakwaan dan amal perbuatannya. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa di antara kamu.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Keturunan Nabi memang layak dihormati, namun dengan batasan tertentu. Penghormatan tidak boleh berujung pada sikap mengikuti secara buta tanpa mempertimbangkan benar atau salah, hanya kultus semata. Menghormati nasab adalah hal yang wajar, tetapi membenarkan kesalahan siapa pun tanpa kritis jelas tidak dibenarkan, apalagi sudah terbukti nasabnya ternyata palsu.
Sudah saatnya umat Islam meninggalkan fanatisme terhadap klaim keturunan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan kembali kepada prinsip Islam yang sejati, yaitu menilai seseorang berdasarkan akhlak, ilmu, dan kontribusinya kepada masyarakat, bukan karena klaim genealogis yang dipertahankan tanpa bukti sahih.
Referensi:
- KH Imaduddin Utsman al-Bantani, Riset Nasab Habib – Tautan
- KH Imaduddin Utsman al-Bantani, Kronik Perjalanan Ilmiah KH Imaduddin Utsman al-Bantani dalam Mengungkap Nasab Palsu Ba Alwi – Tautan
- Prof. Dr. Menachem Ali, Kajian Filologi tentang Nasab Ba’Alwi
- Dr. Sugeng Sugiarto, Penelitian Genetika DNA tentang Haplogrup Bani Hasyim
- Al-Qur’an, Surah Al-Hujurat ayat 13.