Dalam banyak masyarakat, garis keturunan masih menjadi faktor penentu status sosial, kekuasaan, dan pengaruh. Sebagian orang mendapatkan kehormatan dan hak istimewa bukan karena prestasi atau integritas, tetapi karena mereka terlahir dari silsilah tertentu. Fenomena ini mencerminkan bentuk oligarki dalam dimensi non-ekonomi, di mana kelompok kecil mempertahankan dominasinya atas masyarakat melalui klaim genealogis.
Oligarki biasanya dikaitkan dengan kekayaan atau kekuasaan politik, tetapi dalam bentuk yang lebih subtil, ia dapat bertahan tanpa memerlukan kendali atas sumber daya ekonomi. Dalam sistem berbasis nasab, seseorang dianggap lebih tinggi derajatnya hanya karena hubungan darahnya dengan tokoh tertentu di masa lalu. Kepercayaan ini melahirkan eksklusivitas sosial yang menghalangi individu lain untuk naik ke posisi yang sama, berapa pun besar usaha dan kemampuannya.
Pengultusan nasab telah lama menjadi alat legitimasi dalam berbagai sistem sosial. Dalam sejarah Islam, banyak kelompok mengklaim garis keturunan dari Nabi Muhammad SAW dan menggunakan status ini untuk mendapatkan kehormatan dan kekuasaan, meskipun dalam Islam sendiri tidak ada ajaran yang menjadikan nasab sebagai ukuran kemuliaan seseorang. Di India, sistem kasta menentukan hak dan kewajiban seseorang sejak lahir, menutup pintu bagi mobilitas sosial. Di dunia Barat, keluarga kerajaan dan aristokrasi masih mempertahankan hak-hak istimewanya meskipun sistem monarki telah kehilangan sebagian besar kekuasaannya.
Ketika status sosial ditentukan oleh garis keturunan, meritokrasi terabaikan. Orang-orang berbakat yang tidak berasal dari silsilah tertentu akan kesulitan memperoleh pengakuan atau kesempatan yang sama. Mereka harus bekerja lebih keras untuk mendapatkan posisi yang sering kali dengan mudah diwariskan kepada mereka yang lahir dalam lingkungan “darah biru.” Hal ini menghambat kemajuan suatu masyarakat karena keputusan dan kepemimpinan tidak lagi berada di tangan mereka yang paling cakap, tetapi mereka yang hanya memiliki hak turun-temurun.
Ketika kultus nasab dijadikan pegangan utama dalam kehidupan sosial di Indonesia, dampaknya dapat merugikan banyak pihak. Salah satu kerugian terbesar adalah meningkatnya kecenderungan nepotisme, di mana jabatan dan kekuasaan diwariskan tanpa mempertimbangkan kompetensi. Ini menciptakan ketidakadilan, mempersempit peluang bagi masyarakat umum, dan menimbulkan ketidakpuasan sosial yang dapat berujung pada perpecahan. Masyarakat yang terlalu terikat pada sistem berbasis keturunan cenderung mengalami stagnasi karena kurangnya persaingan yang sehat.
Di sisi lain, kultus nasab juga berpotensi menimbulkan diskriminasi terhadap mereka yang tidak termasuk dalam lingkaran elit keturunan. Mereka dianggap kurang layak, bahkan jika mereka memiliki keahlian yang lebih tinggi dibandingkan mereka yang berasal dari keluarga terhormat. Hal ini menciptakan kesenjangan sosial yang semakin dalam dan memperkuat stratifikasi dalam masyarakat.
Yang lebih berbahaya adalah ketika pengultusan nasab dikaitkan dengan legitimasi mistis atau spiritual. Beberapa kelompok mengklaim bahwa garis keturunan tertentu memiliki keistimewaan ilahi, sehingga mereka lebih berhak atas penghormatan dan ketaatan tanpa perlu membuktikan kelayakan moral atau intelektual mereka. Hal ini tidak hanya menciptakan penyalahgunaan kekuasaan, tetapi juga bertentangan dengan prinsip dasar keadilan dan kesetaraan yang seharusnya menjadi pegangan dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam dunia modern yang semakin berorientasi pada ilmu pengetahuan dan keadilan sosial, sudah saatnya masyarakat meninggalkan pola pikir feodal yang mengutamakan garis keturunan di atas kompetensi dan prestasi. Islam sendiri telah menegaskan dalam Al-Qur’an bahwa kemuliaan seseorang tidak bergantung pada nasabnya, tetapi pada ketakwaannya. Ketika seseorang dihormati bukan karena kerja keras dan integritasnya, tetapi karena leluhurnya, maka masyarakat tersebut telah terjebak dalam bentuk oligarki terselubung yang akan terus memperpanjang ketidakadilan.
Referensi:
- Michels, Robert. Political Parties: A Sociological Study of the Oligarchical Tendencies of Modern Democracy. 1911.
- Smith, Anthony D. The Ethnic Origins of Nations. Blackwell, 1986.
- Gellner, Ernest. Nations and Nationalism. Cornell University Press, 1983.
- Laclau, Ernesto. Politics and Ideology in Marxist Theory. Verso, 1977.